Oleh Mahyuddin, M.A Saat mendekati lebaran, fenomena unik dan menarik dalam tradisi masyarakat kita ialah orang berbondong-bondong...
Oleh Mahyuddin, M.A
Saat mendekati lebaran,
fenomena unik dan menarik dalam tradisi masyarakat kita ialah orang
berbondong-bondong melakukan mudik. Mereka yang ada di tanah rantau akan
bersegera kembali ke kampung halaman guna bertemu dan bersilaturahmi dengan
sanak saudara setelah sekian lama mencari penghidupan di luar daerahnya.
Ritual yang telah membudaya
di masyarakat ini, merupakan suatu kebiasaan saat menjelang hari raya. Saban
tahun, sebelum berhari raya hingga selepas Idul Fitri suatu keluarga melakukan
perpindahan secara kolektif untuk menyemarakkan momentum berkumpul dengan
keluarga.
Kesempatan ini adalah
sesuatu yang amat berharga. Tidak jarang keluarga rela berkorban dengan apapun
hanya untuk menunaikan hasrat bermudik. Meminjam istilah kolumnis Damhuri
Muhammad, betapapun kritisnya ekonomi keluarga, berlebaran tetaplah lebih seru
di tanah kelahiran. Tak peduli semelonjak apapun ongkos mudik, tetap tak
semahal kesempatan berkumpul dengan keluarga di hari lebaran.
Menyeruak
Ditengah Pro Kontra
Ada perbedaan ritual
mudik kali ini dengan tahun-tahun sebelumnya. Setelah pemerintah mengeluarkan
berbagai maklumat larangan mudik untuk memutus mata rantai virus, masyarakat mulai
mengurungkan niatan untuk bepergian ke luar daerah. Meski tidak semua orang sepakat
dengan kebijakan tersebut, tetapi paling tidak instruksi ini cukup ampuh menekan
laju perpindahan warga berlebaran di kampung halaman.
Media informasi yang
begitu masif memberikan penerangan terkait pengetatan pemerintah ini, membuat
sebagian warga mulai sadar bahwa keselamatan diri dan keluarga tidak kalah
penting di masa-masa ini. Orang-orang percaya dengan tidak memaksakan kehendak
mudik, maka mereka telah berperan dalam memutus penyebaran covid.
Namun, beberapa hari terakhir
ini mulai menyeruak gerakan berpindah warga untuk pulang. Persepsi publik yang
menganggap bahwa tidak ada pelarangan pulang kampung setelah Presiden mengeluarkan
pernyatan mudik dan pulang kampung berbeda (baca; wawancara Najwa Shihab),
secara perlahan membuat sebagian masyarakat tidak lagi mempersoalkan perihal
larangan pulang ke kampung halaman menjelang lebaran tiba.
Daerah yang pada
mulanya mulai menutup diri untuk para pendatang yang pulang kampung kini
membuka pintu. Pengamatan empirik menunjukkan bahwa pemecahan masalah atas
kebijakan larangan untuk mudik yang dikeluarkan pemerintah melalui skema
Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) semakin tidak terkontrol. Betapa tidak,
walaupun ada aturan pengetatan selama perjalanan dan proses isolasi setiba di
kampung halaman, hal ini tak menyurutkan keinginan sebagian masyarakat untuk tetap
melakukan perjalanan pulang.
Ketidakpatuhan
masyarakat terhadap PSBB ini bisa jadi karena inkonsistensi penerapan kebijakan
tersebut. Pemerintah juga terlihat berkali-kali memberikan kelonggaran
beroperasinya moda transportasi. Ditambah lagi peraturan dan regulasi yang
dibuat ini tidak ada sanksi sosial yang tegas. Padahal idealnya aturan sosial
hadir sebagai satu jenis social control.
Di situasi ini, tidaklah
mengherankan ketika muncul beragam persepsi publik. Tidak sedikit masyarakat
yang menganggap bahwa kebijakan pemerintah justru membingungkan. Sampai-sampai
ada banyak pihak yang memplesetkan kebijakan sosial PSBB ini. Ada yang
mengatakan “Peraturan Sering Banget Berubah. Bahkan dalam tema diskusi yang
dilaksanakan oleh salah satu Fakultas kampus kenamaan di negeri ini, secara
gamblang menunjukkan akronim PSBB dengan kepanjangan dari “Pemerintah Sukanya
Basa-basi”.
Terlepas adanya pro
kontra ini, di level akar rumput memang telah terlihat bahwa ada yang tetap
melakukan perjalanan pulang dalam rangka berlebaran di kampung halaman. Arus
mudik warga terus meningkat pada H-3 lebaran (CNN, Indonesia). Gerak mereka
yang ingin bersua dengan sanak keluarga tak terpengaruh dengan konsekuensi-konsekuensi
yang ada berupa kesiapan individu atau keluarga dikarantina untuk beberapa hari.
Dulu
Didekati, Kini Dijauhi
Lazim dalam masyarakat kita
tatkala ada keluarga yang pulang dari tanah rantau, akan disambuat bahagia. Sepulang
dari mencari penghidupan di negeri lain, seseorang akan dijemput bak raja oleh
pihak keluarga saking senangnya bisa kembali bersua dengan kerabat setelah
sekian lama terpisah oleh jarak dan waktu.
Di pedesaan, misalnya,
hubungan-hubungan masyarakat yang akrab atau diikat dengan pertalian kekerabatan
di mana anggota-anggotanya terikat melalui hubungan sosial yang solid, memiliki
sejumlah “tradisi sambut”. Minimal menggelar acara syukuran atau “mabbaca
salama” dalam tradisi masyarakat kita.
Solidaritas sosial yang
melekat kuat tersebut sampai hari ini masih menjadi cerminan dalam lingkup
masyarakat pedesaan. Ketika sang perantau tiba di kampung halaman, tidak jarang
ia akan langsung melakukan sungkem pada sanak keluarga atau kerabat yang
mendatanginya. Bahkan ada yang langsung melakukan ziarah kubur leluhur secara
bersama-sama. Di sinilah mudik memainkan
peranan penting dalam proses menciptakan relasi sosial yang intens.
Tetapi, mencermati
perkembangan mudik masyarakat saat ini, fenomena unik lainnya yang terpotret
adalah para pemudik terutama perantau mendapati perlakuan berbeda. Beragam
bentuk regulasi yang dihadirkan pemerintah sampai level desa telah mendorong
pada terciptanya sekat-sekat sosial. Gejala yang tampak di masyarakat
masing-masing warga tidak menganjurkan sanak keluarganya mudik atas dasar
adanya kekangan dari pihak pemerintah dan dari protokoler kesehatan desa
lainnya.
Secara sosiologis, hal
ini akan menimbulkan problem sosial baru jika tidak dikelola secara baik.
Perbedaan kepentingan antara pemerintah dan kelompok keluarga pemudik tentu
akan mengalami benturan. Mengapa? karena suatu masyarakat bisa jadi ada
sebagian yang belum siap menerima perubahan ini. Satu sisi pemerintah ingin
menjamin keselamatan jiwa setiap warganya tetapi di lain pihak terdapat anggota
masyarakat yang masih memegang nilai-nilai lama berupa tradisi sambut mudik,
sehingga mereka tidak akan mudah begitu saja menerima anjuran-anjuran ini.
Keluarga seseorang yang
tidak menginginkan adanya pemisahan anggota keluarga dalam kebijakan isolasi
dan karantina tentu akan munculkan reaksi sosial yang berbeda-beda. Titik
paling ekstrimnya ialah akan ada aksi protes karena kebijakan ini masih sulit
diterima. Dalam situasi seperti ini, sudah barang tentu akan membawa pengaruh
munculnya benih-benih konflik di masyarakat.
Mendudukkan
Isolasi dan De-sosialisasi Masif
Mudik adalah kunjungan
sosial yang telah membudaya. Seseorang yang telah sukses di negeri orang
atau para pekerja dari desa yang menetap di kota setiap tahun menjadikan
lebaran sebagai ajang pulang ke desa. Masa lebaran adalah wadah bagi pendatang
dari desa yang bekerja di perkotaan melakukan sirkulasi perpindahan untuk
sementara waktu.
Namun, mereka yang
mudik kali ini harus menghadapi kenyataan bahwa mereka akan dibatasi ruang geraknya.
Dalam masa ini, tidak jarang menimbulkan pertentangan dan kontroversi menyikapi
desa yang dikunci, dipalang, diportal. Masyarakat di pedesaan yang dicirikan
oleh kondisi ikatan-ikatan kekerabatan yang akrab, kini diambilalih
kesaling-terpisahan. Kesaling-bersamaan kini ditukar dengan kesaling-curigaan
lantaran adanya isolasi masif dan horor virus di setiap sudut masyarakat.
Mencermati situasi
tersebut, gelombang pendatang ini adalah fenomena yang harus didudukkan secara
secara bijaksana. Kebijakan pemerintah membatasi mobilitas warga dan diam di
rumah haruslah dilihat secara komprehensif. Dengan kata lain, perlu melihat
konteks sosialnya secara utuh mengapa mereka pulang kampung.
Sebagaimana dikemukakan
sosiolog UGM Tadjuddin Noer Effendi
bahwa gerak perpindahan di masa-masa ini sesungguhnya terjadi karena adanya
banyak kondisi-kondisi sosial yang memengaruhi. Menurutnya, terjadinya
gelombang pulang kampung ini adalah desakan-desakan kebutuhan hidup di mana
pulang kampung adalah survival srtategy bertahan
hidup. Mereka yang penghasilannya mulai menurun atau kehilangan pekerjaan
memaksa banyak orang pulang ke daerah asalnya. Ya, tujuan mereka pulang kampung
tidak sedikit yang terkait dengan kesulitan hidup.
Tidak hanya itu, mereka
juga khawatir akan tertular Covid-19 karena mereka tinggal di pondok-pondok
sewaan yang ukurannya kecil. Apalagi yang memang tinggal berada di daerah zona
merah. Begitu dahsyatnya horor virus ini sehingga menimbulkan kepanikan dan
ketakutan masyarakat yang sangat hebat. Ini yang membuat banyak di antara kita
melakukan perlindungan diri dengan cara pulang ke kampung halaman.
Walau memang pada
akhirnya banyak peraturan yang dibuat pemerintah dan pembentukan protokoler
kesehatan yang mengatur, mensosialisasikan serta membatasi aktivitas pulang
kampung yang dilanggar, tetapi paling tidak jalan ini adalah suatu strategi
bertahan hidup dan menyelamatkan diri dan keluarga di masa-masa krisis ini. Betapa
tidak, bertahan di kota kemungkinan akan sulit menyambung hidup dan berpotensi tertular virus di tengah
situasi pandemi yang tidak menentu.
Dengan demikian, kita boleh
saja takut atas Covid-19. Itu saya kira adalah hal yang manusiawi. Namun, efek
rasa takut dan horor ini tidak berarti kita menutup diri, memalang kampung, terlebih
mengunci aneka relasi sosial pada mereka yang ingin bermudik. Adalah ironi
ketika mereka yang tengah terpuruk dibendung sedemikian rupa.
Bagi mereka bisa jadi
pulang kampung adalah tempat berharap dapat memeroleh perlindungan,
menyandarkan hidupnya. Karena itu, menstigmatisasi mereka apalagi melarang
bukanlah pilihan yang tepat. Kita perlu mendialogkan secara baik dan pihak-pihak
yang memiliki otoritas atas ini perlu terus diingatkan agar menyokong wujud
“saling mengerti”.
Secara praksis,
tindakan sosial semacam ini akan bisa dibangun jika pemerintah di level desa selalu
membuka ruang-ruang dialog. Dan tidak kalah penting selalu memberikan
pengarahan kepada publik agar mempunyai kesadaran sosial untuk tidak bermudik
bagi yang tidak begitu mendesak. Saya kira sudah saatnya kita selalu melihat
dan mengedepankan “sense of humanity” kita di masa ini. Terakhir, kepada mereka
yang masih bisa bertahan untuk tidak mudik, relakanlah kebahagiaan untuk tidak bersua
dengan sanak famili di lebaran kali ini. Ini juga demi kemaslahatan kita
bersama hari ini, esok dan seterusnya. Selamat menyambut hari
lebaran, mohon maaf lahir batin.
Penulis adalah staff pengajar di Prodi Sosiologi Agama IAIN Parepare.
Tidak ada komentar