Muhammad fajar, Mahasiswa Sosiologi Agama IAIN Parepare. Sebelum memulai tulisan saya ini sebelumnya saya ingin meminta maaf...
Muhammad fajar, Mahasiswa Sosiologi Agama IAIN Parepare.
Sebelum memulai tulisan saya ini sebelumnya saya ingin meminta maaf
karena tidak mensensor kata-kata yang tidak pantas demi sebuah objektivitas.
Kota Parepare adalah sebuah kota di Provinsi Sulawesi Selatan dengan
luas 99,33km² yang dijuluki Bandar Madani, Bandar adalah kota dan dalam
Wikipedia dijelaskan, bahwa masyarakat madani diartikan sebagai suatu
masyarakat yang beradab dalam membangun, menjalani dan memaknai kehidupan dan
arti kata madani dalam bahasa inggrisnya adalah civilized society atau dalam
bahasa Indonesia bisa disimpulkan masyarakat yang beradab.
Berbagai aktivitas kehidupan manusia selalu melibatkan bahasa.
Dengan bahasa, manusia dapat menyampaikan pikiran, pendapat, keinginan, dan
sebagainya. Pemakaian bahasa dapat digunakan sebagai parameter untuk menandai
gejolak jiwa seseorang karena dalam proses berbahasa tidak hanya unsur logis
saja yang berpengaruh, tetapi juga unsur afeksi, yaitu 'segala sesuatu' yang
pada dasarnya telah mengandung rasa dan emosi (Sudaryanto. 1982: 13).
Umpatan, kata-kata kotor, ucapan jorok/cabul/carut, sumpah serapah,
caci-maki, atau ungkapan tidak senonoh adalah ungkapan bahasa
yang secara sosial bersifat ofensif, menistakan, atau merendahkan
orang lain. "Definition of Profanity". Merriam-Webster Online
Dictionary.
Kata umpatan bersifat menyeluruh. Hampir semua bahasa di dunia
memiliki bentuk umpatan. Dalam bahasa Indonesia misalnya, kita mengenal kata
umpatan anjing, babi, kampret, dan lain sebagainya; dalam bahasa Inggris shit,
asshole, damn, dan lain-lain.
Fenomena umpatan "asu" yang seringkali terdengar dari
beberapa kalangan di Kota Parepare yang secara sadar ataupun tidak menjadi
lirikan beberapa kalangan akibat tendensi umpatan ini sering dilontarkan. "Asu" bila diartikan dari bahasa bugis berarti anjing,
yang awalnya dijadikan sebagai kata untuk menggambarkan sebuah hewan, tetapi
lama kelamaan menjadi sebuah umpatan yang risih ditelinga bila didengarkan.
Jelas halnya bila kata "asu" ini dikatakan sebagai sebuah umpatan
karena bersifat ofensif merendahkan seseorang.
Dalam kajian agama Islam, liur yang ada pada hewan anjing dijeniskan
dalam najis mughalladhah. Banyak yang berpandangan bahwa anjing itu najis. Akan
tetapi pada dasarnya anjing juga adalah mahluk ciptaan Allah SWT. yang
patut hidup dimuka bumi ini hanya perlu
dihindari. Sehingga orang-orang pandangan bahwa anjing itu adalah hewan yang
haram baik karena liurnya ataupun seluruh tubuhnya. Nah disini bisa dijadikan acuan bahwa umpatan "asu" atau anjing lahir
akibat fanatisme terhadap agama yang menjadikan simbol hewan haram dalam agama
sebagai suatu umpatan yang secara ofensif merendahkan seseorang. Meskipun Kota
Parepare ini bukan hanya diduduki oleh masyarakat Islam saja, tetapi secara
kuantitasnya Islam masih mendominasi di Kota Parepare dalam hal jumlah
pemeluknya. Dilain sisi dalam surah Al-Humazah ayat 1 yang memiliki arti
"celakalah bagi setiap pengumpat dan pencela"
Umpatan "asu" tidak bisa dipandang sebagai sebuah
sosialek, karena sudah menjadi konsumsi berbagai kalangan baik anak-anak, muda,
tua, tidak memandang kelas sosial maupun profesi bagi penuturnya.
Pada saat seseorang didominasi oleh emosi marah, pusat kendali
di otak juga menurun sehingga reaksi yang muncul pun menjadi tidak tersaring dengan
baik. Akhirnya, segala hal buruk yang terpikir di kepala bisa muncul begitu
saja tanpa bisa dikendalikan. Ketika kita sedang marah atau kesal, kita bisa
lebih tenang jika mengeluarkan umpatan. Efek lain setelah mengumpat adalah
merasa terkendali dan lebih rileks.
Ketika seseorang sedang dalam kondisi tersebut, maka tanpa mereka
sadari kata umpatan itu mereka ucapkan. Karena dengan mengucapkan kata umpatan,
mereka akan merasa puas sebab emosinya diluapkan dengan kata-kata umpatan
(Erick & Sperber, 1991: 28). Seringkali umpatan "asu" dijadikan
kata untuk meluapkan ekpresi atas rasa marah, kecewa, dan ungkapan rasa negatif
lainnya.
Uniknya bahasa karena berjalan selalu dinamis. Kadang yang dulu baku
sekarang jadi tidak baku, dulu kasar sekarang jadi tidak kasar lagi. Itu semua
tergantung penuturnya karena makna tidak melekat pada kata namun pemikiran
penutur. Artinya makna dapat berubah. Tidak hanya ditemukan begitu saja tapi
jika dilihat lebih jauh, kata-kata umpatan telah menjadi kebiasaan sehari-hari bagi
sebagian orang, tapi seperti yang kita tahu kata-kata umpatan adalah kata-kata
tabu yang tidak dapat digunakan di setiap tempat dan situasi. Namun, seiring
berjalannya waktu, kata-kata umpatan menarik lebih banyak penggemar dan bahkan
bagi beberapa orang kata-kata ini dianggap biasa untuk dikatakan.
1. "Pada asue sipa'na ero anana e"
"Anak itu bersifat seperti anjing"
2. "Jahatnya ssue"
"Sifatnya jahat"
3. "Cantiknya ssue"
"Orang itu cantik"
Dan kalimat-kalimat lain yang dilengkapi dengan kata umpatan "asu".
(ssue = potongan dari kata "asue" yang berarti "anjing
itu") yang sering kita dapati dilontarkan oleh beberapa masyarakat di Kota
Parepare. Sungguh disayangkan umpatan seperti hal demikian bukan hanya sebagai
kebiasaan tetapi bermetamorfosis menjadi kata pelengkap dalam suatu kalimat
pada beberapa individu untuk mengekspresikan perasaan (contoh 2 dan 3). Dan
lebih disayangkan lagi kalimat-kalimat seperti diatas sudah dikonsumsi dan
dilontarkan oleh anak-anak dibawah umur yang notabenenya merupakan penerus
estapet orang-orang sebelumnya.
Beberapa masyarakat beranggapan bahwa umpatan ini merupakan sebuah
hal yang wajar dan biasa saja, tetapi tidak sedikit pula yang menganggap bahwa
hal demikian merupakan pelengseran terhadap etika dan adab seseorang dalam
berbahasa atau mengekspresikan rasa, terutama masyarakat lokal ataupun luar
Kota Parepare yang menganggap tabu umpatan tersebut.
Tentunya kita tidak ingin
melihat pemimpin-pemimpin dan wakil-wakil rakyat daerah kedepannya menganggap
hal-hal kecil seperti umpatan ini merupakan hal yang biasa-biasa saja
dikalangan kaum elit politik maupun sosok-sosok terpandang dan penerus masa
depan melontarkan umpatan-umpatan demikian secara spontan karena kebiasaan yang
tabu tetapi dianggap wajar bagi beberapa orang. Semestinya sebagai masyarakat
yang berdomisili di Kota yang mengemban julukan sebagai Bandar Madani perlu
menjujung tinggi nilai-nilai adab dalam berbahasa selaku civilized society atau
masyarakat beradab.
#Malebbi
Warekkadana Makiade Ampena.
Tidak ada komentar