Page Nav

HIDE

Grid

GRID_STYLE

Postingan Populer

Pages

Classic Header

{fbt_classic_header}

Header

//

Breaking News:

latest

Agamaku, Pluralisme?

Jumardi, mahasiswa Sosiologi Agama  Pluralisme (Bahasa Inggris: pluralism), terdiri dari dua kata plural (beragam) dan isme (paham)...



Jumardi, mahasiswa Sosiologi Agama 

Pluralisme (Bahasa Inggris: pluralism), terdiri dari dua kata plural (beragam) dan isme (paham) yang berarti paham atas keberagaman. Definisi dari pluralisme sering kali disalahartikan menjadi keberagaman paham yang pada akhirnya memicu ambiguitas.

Penulis lebih tertarik memilih pengertian Pluralisme Sebagai kesediaan untuk menerima keberagaman (pluralitas), artinya, untuk hidup secara toleran pada tatanan masyarakat yang berbeda agama atau keyakinan. Pluralisme mengimplikasikan pada tindakan yang bermuara pada pengakuan kebebasan beragama, kebebasan berpikir, atau kebebasan mencari informasi, sehingga untuk mencapai pluralisme diperlukan adanya kematangan dari kepribadian seseorang dan/atau sekelompok orang.

Pun lebih sederhanya, biasanya kita kenal Kemajemukan atau pluralisme adalah kebutuhan yang kita inginkan untuk saling ngerti agama lain, keterbukaan dan kerjasama. Tujuannya adalah agar bisa dilakukan kerjasama meskipun adanya perbedaan.

Mari kita kupas secara perlahan-lahan dengan mendeskripsikan melalui Perspektif Sosiologis!!!.

Konsep pluralisme awalnya dikemukakan oleh Christian Wolff dan Immanuel Kant sebagai filosof pencerahan Eropa sekitar abad ke-18 yang menekankan pada doktrin tentang adanya kemungkinan pandangan-pandangan dunia dikombinasikan dengan kebutuhan untuk mengadopsi sudut pandang universal penduduk dunia.

Kemudian, Munculnya fenomena pluralisme agama yang dapat ditelusuri dari tiga mazhab teori besar dalam sosiologi agama diantaranya teori fungsionalisme (Emile Durkheim), kognitivisme (Max Weber) dan teori kritis (Karl Marx). Pandangan tiga mazhab teori itu tentang agama, Semisal fungsionalisme melihat bahwa agama sebagai institusi yang dibangun demi integrasi sosial. Kognitivisme memandang agama sebagai pandangan dunia yang memberi makna bagi individu dan kelompok. Sementara teori kritis menginterpretasikan agama sebagai ideologi yang melegetimasi struktur kekuasaan masyarakat.

Secara sosiologis, meminjam teori Emile Durkheim, agama merupakan sesuatu yang benar-benar bersifat sosial. Representasi" religius adalah representasi" kolektif yang tujuannya adalah untuk melahirkan, mempertahankan, atau menciptakan kembali keadaan" mental tertentu dari kelompok" tersebut. Hal yang demikian itu berlaku bagi semua agama. Dengan demikian, pluralisme agama penting dikembangkan dalam masyarakat yang senantiasa berubah.
(Berger: 1969:26)

Berdasarkan pandangan tersebut, dapat dikatakan bahwa Pada hakekatnya semua agama tidak ada yang salah, semuanya benar, yaitu benar menurut gayanya masing-masing. Oleh karena itu, tidak ada alasan bagi setiap pemeluk agama untuk tidak mengakui adanya pluralisme agama atau sering di kenal dengan sebutan toleransi dalam beragama!!!.

"Tidak penting apa pun agama atau sukumu. Kalau kamu bisa melakukan sesuatu yang baik untuk semua orang, orang tidak pernah tanya apa agamamu” -Gus Dur-.

__9 Mei 2020._

Tidak ada komentar