Jumardi, mahasiswa Sosiologi Agama Pluralisme (Bahasa Inggris: pluralism), terdiri dari dua kata plural (beragam) dan isme (paham)...
Jumardi, mahasiswa Sosiologi Agama
Pluralisme (Bahasa
Inggris: pluralism), terdiri dari dua kata plural (beragam)
dan isme (paham) yang berarti paham atas keberagaman. Definisi dari
pluralisme sering kali disalahartikan menjadi keberagaman paham yang pada akhirnya
memicu ambiguitas.
Penulis lebih tertarik memilih
pengertian Pluralisme Sebagai kesediaan untuk menerima keberagaman
(pluralitas), artinya, untuk hidup secara toleran pada tatanan masyarakat yang
berbeda agama atau keyakinan. Pluralisme mengimplikasikan pada tindakan yang
bermuara pada pengakuan kebebasan beragama, kebebasan berpikir, atau kebebasan
mencari informasi, sehingga untuk mencapai pluralisme diperlukan adanya
kematangan dari kepribadian seseorang dan/atau sekelompok orang.
Pun lebih sederhanya, biasanya
kita kenal Kemajemukan atau pluralisme adalah kebutuhan yang kita inginkan
untuk saling ngerti agama lain, keterbukaan dan kerjasama. Tujuannya adalah
agar bisa dilakukan kerjasama meskipun adanya perbedaan.
Mari kita kupas secara
perlahan-lahan dengan mendeskripsikan melalui Perspektif Sosiologis!!!.
Konsep pluralisme awalnya
dikemukakan oleh Christian Wolff dan Immanuel Kant sebagai filosof pencerahan
Eropa sekitar abad ke-18 yang menekankan pada doktrin tentang adanya
kemungkinan pandangan-pandangan dunia dikombinasikan dengan kebutuhan untuk
mengadopsi sudut pandang universal penduduk dunia.
Kemudian, Munculnya fenomena
pluralisme agama yang dapat ditelusuri dari tiga mazhab teori besar dalam
sosiologi agama diantaranya teori fungsionalisme (Emile Durkheim), kognitivisme
(Max Weber) dan teori kritis (Karl Marx). Pandangan tiga mazhab teori itu
tentang agama, Semisal fungsionalisme melihat bahwa agama sebagai institusi
yang dibangun demi integrasi sosial. Kognitivisme memandang agama sebagai
pandangan dunia yang memberi makna bagi individu dan kelompok. Sementara teori
kritis menginterpretasikan agama sebagai ideologi yang melegetimasi struktur
kekuasaan masyarakat.
Secara sosiologis, meminjam teori
Emile Durkheim, agama merupakan sesuatu yang benar-benar bersifat sosial.
Representasi" religius adalah representasi" kolektif yang tujuannya
adalah untuk melahirkan, mempertahankan, atau menciptakan kembali keadaan"
mental tertentu dari kelompok" tersebut. Hal yang demikian itu berlaku
bagi semua agama. Dengan demikian, pluralisme agama penting dikembangkan dalam
masyarakat yang senantiasa berubah.
(Berger: 1969:26)
Berdasarkan pandangan tersebut,
dapat dikatakan bahwa Pada hakekatnya semua agama tidak ada yang salah,
semuanya benar, yaitu benar menurut gayanya masing-masing. Oleh karena itu,
tidak ada alasan bagi setiap pemeluk agama untuk tidak mengakui adanya
pluralisme agama atau sering di kenal dengan sebutan toleransi dalam
beragama!!!.
"Tidak penting apa pun agama
atau sukumu. Kalau kamu bisa melakukan sesuatu yang baik untuk semua orang,
orang tidak pernah tanya apa agamamu” -Gus Dur-.
__9 Mei 2020._
Tidak ada komentar