Page Nav

HIDE

Grid

GRID_STYLE

Postingan Populer

Pages

Classic Header

{fbt_classic_header}

Header

//

Breaking News:

latest

Hari Raya dan Geliat Ekspresi Visual

Oleh Mahyuddin, M.A. Hari raya adalah suatu periode waktu di mana banyak foto berseliweran di beranda lini masa. Entah sekadar meng...



Oleh Mahyuddin, M.A.

Hari raya adalah suatu periode waktu di mana banyak foto berseliweran di beranda lini masa. Entah sekadar mengucapkan selamat hari raya atau memang ingin menunjukkan ekspresi kekompakan keluarga di hari lebaran. Inilah momentumnya. Berfoto lalu menyebarkan di rimba raya dunia maya nampaknya tak dapat lagi dihindari. Proses sosial yang satu ini begitu kuat bahkan membudaya dalam masyarakat saat ini. 

Momentum hari raya adalah bagian dari “ritual posting”. Betapa tidak, publikasi dari hal-hal yang sifatnya pribadi menjadi sesuatu yang tidak dapat lagi dipisahkan. Saban tahun, berbagi foto perihal menu makanan, kemesraan, hingga keintiman keluarga, sudah menjadi kebiasaan masyarakat di musim lebaran.

Barangkali tidaklah berlebihan jika dikatakan masa hari raya adalah suatu entitas yang bersinggungan dengan bingkai-bingkai sosial atas diri. Meminjam istilah Yasraf Amir Piliang, guru besar kajian budaya populer. Bahwa saat lebaran tiba, antara ruang-ruang pribadi kadang kala relatif sulit dipisahkan di dalam ruang publik. Citra diri dibentuk, dihias, dan digambar semuanya tidak jarang karena dimuati logika sosial. Singkatnya, diri ingin selalu ditampilkan secara sosial.

Di masa ini, “tubuh personal” ditransformasikan menjadi “tubuh sosial”, yaitu tubuh kita tak selamanya berada di ruang pribadi (private sphere), melainkan juga terbuka lebar menjadi “milik sosial”. Ya, era masyarakat digital sangat memungkinkan kita mengonstruksi diri secara sosial sedemikian rupa. Konsep diri “dibingkai” dalam ranah sosial medan masyarakat maya dengan memberinya bentuk, posisi dan eksistensi sosial secara terus menerus. Tidak terkecuali di hari lebaran.

Simbolisme Kebahagiaan 

Simbol merupakan representasi dari kenyataan yang dilakoni oleh seseorang. Ia merupakan bayangan imajinatif dalam diri yang diterjemahkan dalam “tanda” dari peristiwa yang tengah kita lakoni. Kita bisa mempertunjukkan identitas diri di dalam setiap proses interaksi kita melalui simbol-simbol tersebut.

Begitu halnya pada masa hari raya ini. Ia adalah salah satu momentum yang paling ditunggu-ditunggu. Mengapa? dikarenakan hari raya adalah simbol reuni. Sebuah waktu terbaik untuk berkumpul bersama keluarga besar setelah sekian lama terpisah oleh jarak dan waktu dengan segala kesibukan masing-masing individu. Karenanya, lebaran sering kali dimaknai tidak hanya sebagai ritus keagamaan, melainkan juga sebagai wadah mengekspresikan pesan pemaknaan kebahagiaan atas diri maupun keluarga.

Jika pun tidak sempat bersua secara langsung, maka minimal bertegur sapa melalui perantaraan instusi maya sembari bermaaf-maafan. Di sini, seseorang atau kelompok keluarga akan menggambarkan keeratan dan kehangatan keluarga di momen lebaran yang kemudian ditampilkan di ranah publik melalui ekspresi visual.

Di situasi ini, kita dapat mengamati bahwa pembentukan kebahagiaan tersebut tidak hanya didasarkan pada aspek psikis, tetapi juga lebih pada aspek sosial. Yakni, kebahagiaan dibentuk berdasarkan bagaimana cara menampilkan diri kita, bagaimana orang lain menilai diri kita, dan akhirnya bagaimana kita melakukan berbagai hal menggunakan simbol tertentu mengekpresikan diri.

Dalam perspektif interaksionis simbolik, tindakan sosial semacam ini adalah tindakan simbolik yang sesungguhnya mengandung berbagai makna. Herbert Mead, tokoh filsafat di bidang sosiologi dan psikologis menyebutnya pembentukan diri yang didasarkan permainan peran karena adanya pengaruh dari orang-orang di sekitarnya (signifikan others). Bahwa kita tidak bisa menafikan setiap tindakan kita tersebut muaranya bersentuhan dengan ekspektasi sosial berupa penilaian orang lain atas diri kita.

Kita selalu ingin mengabadikan masa-masa amat berharga ini dengan harapan bahwa tindakan kita akan dapat disaksikan oleh orang lain. Ini lantaran simbolisme kebahagiaan termuati pertukaran makna sosial. Bayangan kita adalah memerhatikan penilaian orang lain yang melekat dalam diri atas kebahagiaan-kebahagiaan yang tengah kita rasakan tersebut.

Era Masyarakat Pamer

Jika diperhatikan secara seksama di hari lebaran, kita akan melihat bahwa “posting” merupakan perilaku sosial baru yang kini digandrungi oleh berbagai individu. Perhatikanlah di beranda-beranda lini masa, semakin ke sini semakin tampak bahwa telah terjadi polarisasi-polarisasi baru dalam ekspresi visual kebahagiaan. Pengendalian kesan dan penampilan seseorang dapat dengan mudah didapati dalam berbagai dunia maya, kapan saja tidak terbatas oleh ruang dan waktu. Tak peduli itu ruang privat, di sana berbagai ekspresi sosial dilepaskan.

Kondisi semacam ini merupakan realitas yang serasa sulit dihindari dalam masyarakat kontemporer. Ya, ini merupakan konsekuensi logis dari perkembangan media teknologi informasi di mana institusi maya menjadi jalan paling efektif yang bisa dituju oleh seseorang jika ingin mengekspos latar belakang personal maupun keluarganya.

Di masa ini, masyarakat maya sering kali susah melepaskan diri dari perilaku gemar menonjolkan diri. Di kehidupan sehari-hari, kita akan menyaksikan begitu banyak lalu lalang kesan simbol setiap individu memainkan perannya di laman-laman media sosial. Sosiolog Erving Goffman menyebut fenomena ini sebagai “pementasan kehidupan sehari-hari”. Yaitu suatu aktifitas pengontrolan kesan-kesan yang diberikan seseorang terhadap orang lain, sehingga kesan-kesan tersebut berdampak pada penampilan diri baik secara fisik ataupun secara simbolik (Raditya, 2014).

Di hari raya, misalnya, representasi pikiran, rasa maupun tindakan kita, kadang kala mengacu pada ungkapan status sosial seseorang melalui manajemen kesan (impression manajement). Contohnya ada yang berupaya menampakkan mobil mewah, berpakaian berkelas, di sana sini membawa alat komunikasi mutakhir, mengenakan jam tangan mahal, bahkan menata rambut dengan rapi untuk menunjukkan kesan sosial orang lain atas status dirinya.

Kondisi semacam ini ialah sesuatu yang lazim kita temukan di hari lebaran. Betapa tidak, perilaku demikian seolah sudah terinternalisasi dalam pikiran bahkan dalam tindakan sebagian dari kita. Meski tidak semua orang bermotif seperti itu, tetapi paling tidak representasi kebahagiaan, kekompakan, kesenangan hingga keintiman dalam bentuk simbol-simbol gambar visual lalu diberitahukan kepada khalayak, sedikit banyak dilakukan orang lain untuk tujuan menunjukkan prestise dan identitas sosialnya. 

Saat ini kebahagiaan dan kenyamanan tidak lagi terbatas dilihat sebagai ekspresi rasa syukur dalam diri semata melainkan kebahagiaan diposisikan sebagai kenikmatan total dan bersifat alamiah bergantung pada tanda-tanda yang dapat menunjukkan pada pandangan orang lain dan orang-orang terdekat kita (Martono, 2011). Artinya, hari ini kebahagiaan dan kenyamanan seseorang sering kali menjadi tolak ukur tatkala objek-objek dan tanda-tanda visual diwakilkan dalam simbol-simbol gambar foto maupun tulisan status di media sosial.

Kondisi semacam ini dalam pembacaan kritis Pierre Bourdieu, seorang sosiolog dan eksponen ‘Cultural Studies’ Prancis terkemuka telah lama dikaji. Dia secara seksama memperlihatkan bahwa simbol-simbol yang ditampakkan oleh kebanyakan orang seperti ini merupakan representasi dari produk kebudayaan oleh kelompok-kelompok sosial tertentu. Kelas-kelas sosial ini akan terus mengkonstruksi pembedaan kelas sosialnya dengan menampakkan cita rasa yang tengah dilakoninya.

Di sini mereka tidak hanya mencoba membangun benteng pembagian kelas-kelas sosial dalam lingkungan sosialnya, tetapi juga melakukan perjuangan budaya yang meliputi sebuah perang untuk legitimasi status sosialnya dengan memanfaatkan dan menebarkan simbol tanda kebahagiaan dan kenyamanannya tersebut. Harapannya, mereka akan dianggap sebagai kalangan masyarakat yang bergengsi dan memiliki posisi sosial yang tinggi.

Share” Seperlunya

Ragam perilaku sosial di atas merupakan suatu kehendak bebas untuk diekspresikan. Penerjemahan  fakta kebahagiaan setiap orang tentu memiliki persepsi berbeda-beda. Pada masyarakat modern di mana jejak-jejak teknologi komunikasi mutakhir memberikan keleluasaan kepada setiap individu untuk berekspresi, menjadikan selfie, berswafoto atau sekadar menulis status di beranda tak terhindarkan di hari raya. Ini lantaran jagad kesadaran kita juga terus menerus diperkisruh oleh interferensi perebutan arena penunjukan identitas diri.

Kendati demikian, seyogianya hari raya betul-betul dimaknai sebagai manifestasi penghayatan perbaikan diri, terutama mengejawantahan penundukkan diri atas hawa nafsu duniawi. Betul momen lebaran adalah bagian dari sarana ekspresi kebahagiaan tetapi tanpa label apresiasi dan respons dari para netijen dan tetangga yang budiman pun juga tidak mengapa. Sebab, esensi dan puncak sesungguhnya dari hari raya ini adalah bagaimana menggapai derajat ketakwaan. 

Seseorang bisa dilihat sejauh mana nilai-nilai ketakwaannya telah teraktualisasi dari perilakunya. Apakah bisa atau tidak dikendalikan, sangat bergantung bagaimana ia bisa memelihara dirinya dari hal-hal negatif sebagaimana selama berpuasa semuanya harus dikontrol dari hal-hal yang bersifat negatif. 

Tidak hanya itu, hari raya adalah jalan menuju “kefitrian”. Pangkal kefitrian itu salah satunya penghayatan kita terhadap kemanusiaan (sense of humanity). Pada masa krisis pandemi seperti sekarang ini, “sense of crisis” harus ditingkatkan. Banyak saudara-saudara kita yang tengah kesusahan karena terdampak Covid-19 yang harus kita perhatikan. Minimal menjaga perasaannya dengan tidak pamer berlebihan. 

Kita demikian mahfum jika seseorang ingin mendapat pengakuan secara sosial. Itu sah-sah saja karena memang setiap orang secara psikologis tentu ingin menunjukkan eksistensi dirinya, dan semua orang memiliki hak akan hal itu. Tetapi, Jangan sampai kita terlalu asyik dengan diri sendiri dan keluarga di hari raya lantas melupakan orang-orang di sekeliling kita.

Dalam kesempatan hari raya ini, kita sudah seharusnya menyadari bahwa di antara substansial-transendental berhari raya setelah sebulan berpuasa ialah menumbuhkan “kepekaan sosial”. Berpuasa, yang mewajibkan “menahan diri” dari kehendak nafsu seperti makan dan minum, mengajarkan kita mengalami dan merasakan nasib dan penderitaan orang lain. Inilah Madrasah yang perlu terus ditanamkan dalam diri kita. 

Untuk itu, kondisi umat yang tengah berduka ditengah pandemi ini, sekali lagi marilah kita berhari raya namun tidak melupakan pentingnya kepekaan-kepekaan sosial. Saya kira hari raya kemenangan ini adalah sebaik-baik waktu untuk berempati merasakan penderitaan saudara-saudara kita yang mugkin tengah hidup serba kekurangan. Karena itulah “oversharing” kewemahan tidaklah begitu elok dilakukan pada masa-masa ini.


Semoga Allah Ta’ala menerima amal-amal kita dan kita menjadi insan-insan yang selalu terjaga ketakwaannya serta kita benar-benar beranjak mencapai puncak ampunan dan kasih sayang-Nya. Aamiin.

*Penulis adalah dosen sosiologi pada Prodi Sosiologi Agama IAIN Parepare.

3 komentar