Page Nav

HIDE

Grid

GRID_STYLE

Postingan Populer

Pages

Classic Header

{fbt_classic_header}

Header

//

Breaking News:

latest

Corona, Alam dan Monster Bernama Manusia

Oleh: Muh. Taufik, Mahasiswa Sosiologi Agama. Covid-19 atau lebih di kenal virus corana adalah sebuah virus yang akhir-akhir ini...



Oleh: Muh. Taufik, Mahasiswa Sosiologi Agama.

Covid-19 atau lebih di kenal virus corana adalah sebuah virus yang akhir-akhir ini menggila. Virus ini telah menjadi ancaman yang menakutkan di seluruh negara karena penyebaran sangat cepat dan dapat menyerang siapa saja. Tidak mengenal kelas sosial dan wilayah bangsa

Seluruh negara siaga dalam menghadapi virus tersebut. Berbagai upaya telah di lakukan agar dapat memutus mata rantai penyebaran pandemi ini mulai dari sosial distancing, physical distancing hingga lock dockdown. Teranyar, dilakukan pembatasan sosial dalam skala besar walaupun ini memiliki konsekuansi sosial ekonomi yang besar.

Tidak lama ini para pegiat sosial media di hebohkan sebuah teori siklus  100 tahun. Di sana digambarkan bahwa jika kita melihat secara historis di berbagai belahan dunia, sejarah mencatat wabah serupa pernah terjadi pada tahun yang berbedah namun kurun waktu yang sama. 

Di  Indonesia sendiri terutama pada masyarakat primitif para pendahulunya (nenek moyang) telah lama membuat catatan tentang kejadian di masa lalu lengkap dengan tanggal dan bulannya, catatan tersebut berisikan kejadian yang dialami pada masa itu dan diwariskan pada generasinya untuk di jadikan sebuah pelajaran untuk memprediksi cuaca, biasanya di gunakan para petani dan pelaut untuk memulai pekerjaannya.

Namun, di zaman sekarang prediksi semacam itu tidak lagi akurat mengingat adanya perubahan cuaca tidak menentu. Kehebohan siklus 100 tahun ini membentuk mindset kita menjadi determinisme restrospektif yaitu upaya kembali pada sesuatu seakan-akan sudah di tentukan. Siklus 100 tahun ini membawa kita pada jejak historis  dan membentuk mindset kita bahwa kejadian masa silam tersebut akan terjadi lagi di masa mendatang.

Pemikiran seperti ini mengingatkan kita teori sosiologi positivisme yang dicestuskan oleh Auguste Comte, bapak sosiologi.  Yaitu manusia mulai memercayai data empiris (pengalaman) sebagai ilmu pengetahuan terakhir namun bersifat sementara dan tidak mutlak. Ini mengajarkan kita bahwa betapa pentingnya sebuah sejarah akan tetapi semua itu adalah masa lalu yang dapat di jadikan pelajaran tetapi sifatnya sementara. Bukankah manusiah itu berevolusi tumbuh dan berkembang secara progresif menjadi lebih baik (Herbert spencer-darwinisme). 
Disaat covid-19 ini merajalela muncul akan kesadaran sosial atas fenomena yang terjadi yaitu masyarakat mulai mengintrofeksi dirinya sendiri atas keserakahan terhadap alam. Untuk bertahan hidup manusia memang tidak dapat di lepaskan oleh alam, hubungan antara manusia dengan alam sangatlah dekat. Manusia dan alam seharusnya dapat saling menjaga, akan tetapi karena sifat materalis yang dipunyai manusia, ia justru menjadi monster bagi alam raya. Ia telah melahap banyak lingkungan alami, menelan pepohonan, menggaras binatang sehingga merusak ekosistem di dalamnya.
 
Bumi ini di ciptakan Tuhan sangatlah indah dengan gugusan gunung yang menjulang tinggi serta alam rimbah nan hijau menjadi selimutnya dan air yang jernih menjadi penyejuknya. Lautan yang tak bertepi menyimpan rahasia keindahan. Namun keindahan itu mulai redup. Semua itu tidak terlepas dari ulah tangan-tangan manusia.

Di saat corona tak terbendung, timbul kesadaran sosial untuk menjaga kebersihan diri dan lingkungan, berbagai kalimatpun bermunculan dimulai dari kata bumi ini sedang rehat untuk memperbaiki dirinya, hingga keinginan untuk merawat dan menjaga alam ini. Semoga semua itu bukan hanya untuk insta story atau hanya wacana saja. 

Siapa yang di titipkan alam ini?
Siapa yang akan menjaga dan merapat alam ini?
Siapa yang memiliki akal untuk berfikir?
Siapa dan siapa dan siapa??
Jawabannya adalah KITA……
#dirumahsaja
#salamkemanusian
#salamlestari


Tidak ada komentar