Di era masyarakat digital saat ini , kehidupan masyarakat tidak lepas dari kebiasaan-kebiasaan memanfaatkan media ( media habit...
Di era masyarakat digital saat ini ,
kehidupan masyarakat tidak lepas dari kebiasaan-kebiasaan memanfaatkan media (media habit). Media
teknologi yang menghubungkan seluruh
unsur-unsur masyarakat satu dengan lainnya telah memengauri perilaku anggota masyarakat
dengan produk-produk media yang
dihasilkan.
Salah satu budaya massa yang kini
digandrungi oleh lintas generasi adalah aplikasi TikTok. Kehidupan masyarakat
saat ini yang pada umumnya saling berinteraksi
di lini masa, sedikit banyak dipengaruhi oleh budaya populer
tersebut. Dari anak kecil, remaja hingga
orang dewasa telah bersentuhan dengan
TikTok.
TikTok
sebagai Industri Budaya
Harus diakui bahwa TikTok
merupakan salah satu industri pendapatan ekonomi di abad ini. Ya, di balik itu ada
kekuatan pasar yang mengkonstruk selera dan cita rasa masyarakat kita. Sehingga
untuk terhindar dari pengaruhnya bakal susah. Mereka akan selalu berupaya
menyasar para pengguna media sosial dengan segala daya tariknya melalui
hiburan-hiburan dipadukan seni, sehingga terjadilah apa yang dinamakan Dominic
Strinatim, “proses komersialisasi kebudayaan”.
Didukung perkembangan teknik-teknik
produksi industri dan teknologi informasi yang masif, industri media menghasilkan
produk-produk aplikasi sebagai ladang komersial, yang membawa khalayak masyarakat larut dalam euforia kesenangan.
Masyarakat yang doyan dengan segala sesuatu yang naik daun atau laris, membuat industri
media berlomba untuk memproduksi
aplikasi baru demi mencari keuntungan sebesar-besarnya (Bungin, 2005).
Di situasi ini, industri yang tumbuh di
masyarakat adalah produk-produk budaya populer. Ketika persaingan
antar-kekuatan kapital makin ketat dan masing-masing berusaha mencari ceruk
pasar baru dan berusaha memaksimalkan produksi serta keuntungan, maka yang
terjadi adalah bagaimana mereka mencari peluang pasar secara terus-menerus
dengan menawarkan produk-produk budaya secara masif (Suyanto, 2017). Kita
ditawarkan berbagai daya tarik budaya populer, bukan untuk pemuasan kebutuhan,
melainkan untuk meraih keuntungan.
TikTok
dan Degradasi Moral
Terlepas aplikasi TikTok memiliki sisi
positif bagi dunia hiburan diri. Bahwa di dalamnya kita bisa melepas penat dengan
rileksasi bernuansa hiburan. Namun hal ini juga membawa dampak-dampak sosial
yang besar. Di antara efek negatif yang dihasilkan oleh TikTok adalah kebiasaan
ini dibangun berdasarkan kesenangan namun tidak substansial, meminjam istilah
Ben Agger. Yaitu masyarakat kita kadang kala menempatkan budaya populer ini di
atas norma-norma ketidakkewajaran. Dengan dalih mengentaskan kejenuhan kerja
sepanjang hari, banyak individu bahkan kelompok masyarakat melakukan
goyangan-goyangan erotis tak senonoh yang jauh dari kebiasaan-kebiasan
masyarakat kita.
Alian Bloom dalam bukunya The Clossing of The American Mind
menyebut hadirnya kebudayaan baru semacam ini justru merusak kebudayaan
tradisional. Ini ada benarnya juga. Sebagai contoh misalnya tatakrama
berpenampilan. Tidak sedikit masyarakat mempertontonkan auratnya di ruang-ruang
lini masa yang ditonton oleh ribuan bahkan jutaan pengguna sosial media. Hal
ini jelas secara langsung tidak sejalan dengan nilai dan norma masyarakat.
Implikasinya, budaya populer seperti TikTok tidak hanya melemahkan keadaan
normalitas sosial, tetapi juga menggerus moralitas masyarakat.
Kehadiran TikTok yang dengan cepat merambah pengaruhnya kepada miliaran manusia mampu menyulap setiap
individu untuk melakukan adegan-adegan yang sering kali jauh dari nilai-nilai
normatif. Kita saksikan gejala sosial
TikTok acap kali memproduksi video
tidak pantas yang kebanyakan dilakukan oleh kaum hawa bahkan melibatkan
anak-anak kecil.
Di sinilah degradasi itu bisa bermula. Penggunaan
video-video yang mengandung konten pornografi tersebut yang dulu ditolak
masyarakat, saat ini menjadi samar-samar. Sehingga, proses produksi kepuasan
manusia melalui TikTok yang tidak terkontrol ini dalam taraf tertentu, bisa
mendegradasi moral masyarakat. Konsekuensinya, menjamur nilai-nilai tidak etis
(amoral) di masyarakat yang dapat menghasilkan dekandensi moral bagi generasi
muda.
Dengan demikian, kita harus menyadari bahwa di dalam TikTok tidak
semua membawa sisi positif. Adakalanya menjadi boomerang bagi moralitas
jika tidak bijak menggunakannya. Penting diketahui, di dalam TikTok sesungguhnya
hasrat-hasrat kita dimanipulasi. Oleh Raditnya disebut derita tubuh karena
hegemoni pikiran melalui rekayasa citra.
Ya, hasrat kita dijinakkan oleh
kepentingan ekonomi membuat derita manusia tiada akhir sebab tubuh kita telah
menjadi sarana kuasa, hasrat, dan penaklukan dari pihak lain. Karenanya, kita
butuh kemerdekaan pribadi dengan tidak mudah terombang –ambing dengan rayuan
media budaya populer hari ini.
Parepare, 11 April 2020
Penulis adalah dosen sosiologi agama IAIN Parepare
Tidak ada komentar