Hari-hari terakhir perhatian umat manusia di lini masa bahkan dunia masih saja berkutat pada soal virus Corona (Covid-19). Betapa ...
Hari-hari terakhir perhatian umat
manusia di lini masa bahkan dunia masih saja berkutat pada soal virus Corona
(Covid-19). Betapa tidak, virus ini membawa ekses tersendiri (petaka besar)
bagi kehidupan global. Kita dihadapkan pada ancaman kepunahan ras manusia yang
nyata di depan mata di semua negara di planet ini.
Negara-negara di belahan dunia yang
terpapar virus tersebut kini mendadak menjadi hantu paling menakutkan di dunia.
Orang-orang yang pada mulanya senang bepergian, rutin bertamasya di manca
negara, mengagendakan ibadah haji, seketika ciut nyalinya. Hal itu karena di
samping adanya pembatasan negara yang ketat, juga lantaran seisi dunia panik
dan tergopoh-gopoh menghadapi laju penyebaran pandemi ini.
Pada abad ini, kita menemukan
bangsa manusia berada dalam suatu krisis global yang mengerikan, yaitu hadirnya
pendemi Corona telah menyebabkan krisis multidimensional. Ia tidak hanya
menyentuh aspek kesehatan, tetapi juga memengaruhi dimensi sosial, ekonomi, politik
hingga budaya. Kita tidak tahu kapan virus ini akan berakhir namun selalu ada
harapan dan optimisme bahwa badai ini akan segera berlalu.
Virus dan Peradaban Manusia
Sejarah manusia adalah sejarah
penyebaran virus. Adalah Profesor Jared Diamond, sejarawan dan antropolog
kenamaan yang memberi warning tentang
itu. Dalam buku tersohornya yang berjudul Guns,
Germs and Steel (Bedil, Kuman, dan Baja), ia menyebutkan virus dan kuman
merupakan penanda peradaban manusia.
Menurut Jared Diamond, ada tiga
yang menjadi penanda eksistensi peradaban manusia, yakni bedil, kuman dan baja.
Ia mendasarkan argumentasinya pada fakta sosial masa lalu bahwa setiap kali
peperangan dan penaklukan bangsa-bangsa terjadi sering kali hadir secara
bersamaan penyakit (virus) yang menyerang umat manusia. Dalam situasi ini, terjadi
perubahan lanskap sosial termasuk jatuhnya sebuah rezim.
Dalam buku tersebut, Jared
Diamond bercerita tentang bangkit dan runtuhnya kejayaan-kejayaan masa lalu. Banyak
peradaban yang lenyap dan meninggalkan monumental. Itu bukan hanya karena
dilatari penggulingan pemerintahan oleh pemerintahan lain melalui perang,
melainkan juga akibat penyebaran pandemi.
Kisah ini tercatat dengan rapi
dalam karya Jared Diamond. Ia menuturkan, saat wabah Black Death (flu spanyol) hadir
di abad-14, diperkirakan terdapat 200 juta populasi orang Eropa yang tewas
mengerikan. Penyakit itu dengan cepat menyebar dan menjangkiti orang-orang dan membunuh
seperempat penduduk Eropa di 1346-1352, dengan jumlah korban jiwa hingga 70
juta orang.
Virus yang menyerang umat manusia
memang pernah terjadi di berbagai tempat. Albert Camus penerima Anugrah Nobel
dengan maha karyanya berupa novel ekstensialis berjudul La Peste yang horor itu, telah memberi ulasan bahwa kematian akibat
epidemik adalah salah satu hal yang membinasakan umat manusia secara massal.
Ia mencatat bahwa pada tahun
1720, wabah Sampar melanda kota Marseille, Prancis telah menewaskan lebih dari
seratus ribu para warga di dalam kota itu. Barulah 25 tahun kemudian, jumlah
populasi Marseille kembali seperti tahun 1720. Tidak hanya itu, wabah Kolera
juga pernah menjadi ancaman manusia pada tahun 1820. Ratusan orang tewas akibat
wabah ini termasuk tentara Inggris sehingga menarik perhatian Eropa kala itu.
Seturut dengan itu, di
tahun-tahun terakhir epidemi influenza juga membunuh 21 juta orang. Belum lagi
Kolera, Lepra dan Tuberculosis. Semuanya telah melenyapkan sepertiga populasi
bumi (Darmawan, 2020). Ada masih banyak lagi pendemi serupa yang pernah terjadi
dari masa ke masa. Teranyar, umat manusia juga pernah diterpa virus Mers, SARS,
Flu Babi, Ebola, Flu Burung yang tidak hanya mematikan manusia, tetapi juga menggerus
nyawa binatang ternak peliharaan.
Rententan peristiwa di atas
menunjukkan bahwa betapa virus selalu hadir dalam setiap perkembangan peradaban
manusia. Mereka yang hidup di saat wabah mematikan menggila adalah manusia-manusia
yang terseleksi dari pendemi. Ini yang disebut Herbert Spencer Survival of the fittest, yaitu hanya individu
yang mampu beradaptasi dengan lingkungannya-lah yang akan bertahan. Mereka yang
berhasil melewati masa-masa sulit itu, yang akan menciptakan peradaban-peradaban
baru di kemudian hari.
Hikmah nyata yang bisa dipetik dari
fenomena ini adalah bahwa sekian abad perjalanan virus dan penyakit di
permukaan bumi, manusia selalu berhasil mengalahkannya. Tiap kali virus
menyerang manusia, melalui teknologi kedokteran dan pengembangan cara mengatasi
dari berbagai disiplin ilmu pengetahuan, manusia selalu saja meraih kemenangan
atas virus tersebut. Bersamaan dengan itu, muncul peradaban-peradaban baru umat
manusia untuk menjaga eksistensinya di permukaan bumi.
Sudut Gelap Kemajuan
Terlepas manusia telah mampu
menciptakan peradaban-peradaban baru di setiap kali muncul virus, harus diakui
bahwa umat manusia termasuk yang paling banyak dipersalahkan atas fenomena alam
ini. Itu dikuatkan dengan berbagai riset bahwa kemunculan virus dan
penyakit-penyakit baru tidak lepas dari kerusakan yang ditimbulkan oleh
aktivitas ekstraktif manusia terhadap alam (Baca; Lingkungan Hidup & Kapitalisme).
Virus ini adalah bagian integral
alam semesta. Ia merupakan kombinasi alam yang memiliki ekosistem tersendiri. Kehadiran
umat manusialah yang mengubah keseimbangan itu, sehingga virus beralih ke
organ-organ manusia.
Di balik kemajuan-kemajuan yang
telah dicapai umat manusia, memang bisa dirasakan. Itu harus diakui. Peradaban-peradaban
yang kita nikmati hari ini adalah buat modernitas yang diciptakan umat manusia.
Kita telah menikmati kemajuan, kecepatan, kemudahan dan pertumbuhan yang
mengubah segala aspek kehidupan kita.
Tetapi, aspek-aspek yang lain
juga menyisakan banyak masalah. Di sana tersimpan sisi gelap tersendiri yang
tidak mudah untuk diselesaikan. Itu karena kemajuan juga memberikan ancaman
kepada manusia seperti apa yang tengah kita rasakan saat ini. Yaitu ancaman kematian
melalui berbagai penyakit.
Fritjof Capra dalam bukunya Titik Balik Peradaban: Sains, Masyarakat dan
Kebangkitan Kebudayaan telah menggaris bawahi bahwa akan selalu ada sisi
gelap dalam setiap pertumbuhan. Bagi Capra, pertumbuhan teknologi yang
berelebihan telah menciptakan suatu lingkungan di mana kehidupan manusia menjadi
tidak sehat baik secara fisik maupun mental. Tatkala seseorang menjadi sakit,
hal itu tidaklah mengherankan sebab manusia dalam mengembangkan teknologi,
institusi termasuk gaya hidup pada awalnya menciptakan ketidakseimbangan budaya
yang tidak sehat. Manusia telah menggiring peradabannya ke arah kehancurannya
sendiri.
Menurut Fritjof Capra, obsesi
manusia untuk mendapatkan keuntungan-keuntungan ekonomi telah menciptakan
konsekuensi-koneskuensi yang berbahaya bahkan membawa pada malapetaka. Hal itu
terjadi kesadaran ekologis manusia telah hilang di dalam peredaran. Manusia
yang merasa memiliki kemampuan segala-segala, mulai jumawa. Akibatnya, supremasi
manusia atas alam semakin tidak terkontrol. Semakin ke sini manusia merasa diri
sebagai satu-satunya pemilik semesta.
Pemberontakan Alam
Karl Marx dalam karya monumentalnya Economic and Philosophic Manuscripts pernah
berucap bahwa alam adalah tubuh anorganik manusia. Bagi Marx, manusia hidup di alam
berarti alam adalah tubuhnya, yang harus ditinggalinya dalam suatu hubungan
yang terus menerus jika dia tidak ingin mati. Kondisi kehidupan fisik dan
spritual manusia terkait erat dengan alam yang berarti bahwa alam terkait dengan
dirinya sendiri, karena merupakan bagian dari alam.
Begitu kira-kira pernyataannya. Sepintas
lalu kendatipun mungkin bersifat insidental tetapi Marx telah menekankan bahwa
pentingnya alam dalam susunan sosial dan ekonomi di seluruh tulisannya. Meskipun
persoalan ekologi bukanlah masalah mendasar kala itu tetapi dia sadar akan
dampak ekologis akibat alam yang tidak terjamah secara bijak seperti saat
sekarang ini.
Menurut Horkheimer, salah satu
teoritikus kritis Sekolah Frankrut Jerman, bahwa hubungan antara manusia dengan
alam di jaman modern ini mengalami krisis. Betapa tidak, di jaman kejayaan akal
budi instrumentalis ini, ternyata manusia memandang alam hanya untuk ditindas. Dalam
perjalanannya, seisi alam raya lingkungan dianggap hanya untuk memenuhi
keinginan dan kebutuhannya. Bai, Horkheimer, akibat nyata atas hubungan yang
tidak baik itu, alam pun memberontak dan manusia ganti ditindas oleh alam.
Jika dipikir-pikir nampaknya ada
benarnya juga. Bahwa umat manusia masa kini tidak dapat menjaga nafsu serakah
dan kegilaan mengonsumsi makanan yang melampaui batas norma manusia. Sumbangan spesies
alam raya yang mengumpulkan virus-virus ganas agar tidak bertebaran di bumi dan
mengganggu keselamatan manusia, dirusak sendiri oleh manusia. Akibatnya, virus-virus
yang tersimpan dalam tubuh binatang liar itu kini kehilangan tempat tinggalnya
dan beralih ke manusia.
Beberapa ahli menyebut virus
Corona berasal dari binatang liar seperti ular dan kelelawar dan sejenisnya.
Oleh manusia binatang itu justru diperdagangkan, dijual hidup-hidup. Mereka
ditangkapi, dicincang, dimakan dan dihilangkan hak hidupnya. Karena kehidupan
kita yang tak lagi harmoni pada mereka hingga pada akhirnya mereka bertindak
balas mengundang berbagai penyakit berjangkit yang akan memusnahkan manusia
secara beramai-ramai.
Pikiran liar saya menduga memang merebaknya
virus ini bisa jadi pembalasan hewan kepada manusia. Tragedi ini, bisa jadi pemberontakan
alam terhadap manusia yang selama ini semena-mena. Ya. Virus telah melululantahkan
kehidupan kita. Itu dapat disaksikan. Ia berhasil memenangkan pemberontakan
lantaran berhasil menembus tapal batas bumi manusia yang membahayakan seluruh
spesies umat manusia di permukaan bumi.
Inilah simbolisme-simbolisme
alam. Kehadiran manusia dalam menciptakan peradaban-peradaban tak tertandingi
adalah momok bagi kelangsungan hidup spesies lain di alam raya. Adakah kita
memikirkan itu? Sebab, munculnya pandemi-pandemi mengerikan ini bukanlah
sesuatu yang muncul tiba-tiba. Mereka adalah manifestasi dari apa yang manusia
telah lakukan terhadap alam, ekosistem mereka. Sebuah simbol ketidakseimbangan alam,
atau alarm kerusakan bumi akibat ulah manusia.
Dengan demikian, adakalanya setiap
pembicaraan kita tentang “krisis pandemi” harusnya dimulai dari suatu
perspektif yang lebih luas dari itu. Yaitu dengan perspektif yang
memperhitungkan akar masalah dengan masalah-masalah kritis yang kita tengah
hadapi saat ini. Sebab, sekali kenyataan-kenyataan itu dipahami, maka akan
menjadi jelas bahwa sumbernya adalah dari manusia itu sendiri.
Akhirnya mari kita menyikapi
fenomena-fenomena semesta ini dengan senantiasa menyandarkan pada teologi
lingkungan alam raya. Itu bisa kita lakukan saya kira dengan merenungi ayat ini
“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan
manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan
mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)” (Ar-Rum: 41).
Penulis adalah Mahyuddin, M.A. Dosen Sosiologi Agama IAIN Parepare.
Tidak ada komentar